Rabu, 03 Juni 2009

Kepemimpinan Visioner Atasi Resistensi

AKTUALISASI KEPEMIMPINAN VISIONER
DALAM MENGATASI RESISTENSI ANGGOTA TERHADAP
PERUBAHAN PARADIGMA POLISI SIPIL

By : Sambodo Purnomo Yogo, SIK, MTCP

I. PENDAHULUAN
Paradigma Kepolisian Sipil bagi Polri selalu dikaitkan dengan momentum pemisahan TNI – Polri sebagai hasil dari reformasi. Pemisahan (kemandirian) Polri itu sendiri bagi Polri bukanlah sebagai tujuan tetapi sebagi langkah dimulainya perubahan menuju paradigma baru Polri yaitu paradigma Kepolsian Sipil. Walau sampai saat ini proses transisi masih terus berjalan, bahkan disebutkan bahwa Polisi Indonesia kini walaupun tidak lagi berkarakter militer, tetapi baru sekedar ”a civilian in uniform” atau orang sipil yang diberi baju seragam.
Setiap perubahan yang berhasil selalu dipimpin oleh seorang pemimpin yang dianggap sebagai ”The Change Maker” (Si pembuat perubahan). Rhenald Khasali, dalam bukunya ”Change” menggambarkan bahwa pemimpin-pemimpin perubahan itu mempunyai jiwa dan semangat serta komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan-perubahan pada organisasi atau bangsanya. Contohnya adalah Lee Kwan Yeuw di Singapura, Roby Johan di Garuda, dan Cacuk Sudaryanto di Telkom.
Keberadaan seorang pemimpin yang kuat merupakan faktor penentu dalam berhasil atau tidaknya suatu organisasi dalam melakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis organisasi tersebut. Demikian juga halnya dengan organisasi Polri yang saat ini sedang dalam dalam masa transisi untuk melakukan perubahan menuju kearah paradigma kepolisian sipil, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang visioner dan mampu untuk memimpin organisasi Polri menuju kerah perubahan.
Setiap perubahan pasti ada yang mendukung dan ada yang menolak atau resisten terhadap perubahan tersebut. Kepemimpinan yang visioner menjadi vital bagi organisasi Polri terutama dalam menghadapi resistensi dari para personil yang tidak mau melakukan perubahan. Karena resistensi ini akan menjadi masalah dalam organisasi, bahkan orang – orang yang resisten akan dianggap sebagai ”benalu kemajuan”, akan ditinggal dan bahkan disingkirkan dari organisasi Polri karena dianggap anti perubahan.
Oleh sebab itu, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ”Bagaimanakah aktualisasi kepemimpinan yang visioner dalam menghadapi resistensi personil pada perubahan paradigma polisi sipil?”. Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan maka permasalahan tersebut dipecah menajdi beberapa persoalan, yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan yang visioner?
b. Bagaimanakah konsep paradigma kepolisian sipil?
c. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh seorang pimpinan Polri untuk mengatasai resistensi terhadap perubahan menuju paradigma kepolisian sipil?
II. PEMBAHASAN
1. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan Visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada kerja dan usaha yang dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Dari penegertian ini terlihat bahwa pemimpin yang visioner harus mempunyai visi yang jelas kearah mana organisasi itu akan dibawa. Dari sisi ini pemimpin Polri yang Visioner harus mampu membawa organisasinya kearah Visi Polri yaitu ”Terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat yang terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum”.
Burt Nanus (1992), mengungkapkan ada empat peran yang harus dimainkan oleh pemimpin visioner dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
a. Peran penentu arah (direction setter). Peran ini merupakan peran di mana seorang pemimpin menyajikan suatu visi, meyakinkan gambaran atau target untuk suatu organisasi, guna diraih pada masa depan,
b. Agen perubahan (agent of change). Agen perubahan merupakan peran penting kedua dari seorang pemimpin visioner. Dia harus mampu menjadi pelopor bagi organisasi untuk melakukan perubahan.
c. Juru bicara (spokesperson). Pemimpin, sebagai juru bicara untuk visi, harus mengkomunikasikan suatu pesan yang mengikat semua orang agar melibatkan diri dan menyentuh visi organisasi.
d. Pelatih (coach). Pemimpin, sebagai pelatih, menjaga pekerja untuk memusatkan pada realisasi visi dengan pengarahan, memberi harapan, dan membangun kepercayaan di antara pemain yang penting bagi organisasi dan visinya untuk masa depan.
2. Paradigma Polisi Sipil
Ada banyak pendapat para ahli tentang Polisi Sipil. Salah satunya adalah dari Institute For Defense Strategy and Peace Studies (IDSPS). Lembaga ini menberikan definisi dari Polisi Sipil sebagai berikut:
a. Polisi Sipil adalah Polisi yang menghormati hak – hak sipil, serta mampu mengawal nilai – nilai sipil seperti demokrasi, akuntabel, transparan dan lain - lain.
b. Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusian dan padanya melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, dan persuasif.
c. Polisi Sipil mengabdi pada kepentingan rakyat. Dalam hal ini polisi harus mewujudkan pola kerja yang humanis dan menyayangi masyarakat, dengan mengedepankan komunikasi dengan rakyat.
Terkait dengan paradigma polisi sipil, perubahan dari kultur militer ke kultur sipil tersebut memerlukan adaptasi yang intensif, tidak saja mengganti atribut atribut yang berbau militer dengan atribut-atribut yang lebih berwajah sipil (civilian style blazer) , tetapi juga melalui berbagai upaya organisasi yang meliputi perubahan pada aspek struktural, instrumental maupun kultural. Dalam proses perubahan inilah dimungkinkan adanya resistensi dari anggota.
3. Upaya Mengatasi Resistensi terhadap Perubahan Paradigma Polisi Sipil
Sebagaimana telah disampaikan dimuka bahwa setiap perubahan pasti menimbulkan resistensi dari para anggota organisasi, termasuk dalam hal ini adalah resistensi dari anggota Polri terhadap perubahan paradigma kepolisian sipil. Penulis berpendapat Resistensi itu ditimbulkan oleh beberapa hal, antara lain:
- Perubahan tersebut menimbulkan ketakutan kepada anggota bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap budaya kerja Polri yang lebih transparan dan akuntabel sehingga mengeliminir penyalah gunaan wewenang.
- Anggota berada pada zona kenyamanan (comfort zone) dimana mereka menikmati polisi yang bersifat militeristik, yang mana mereka seolah-olah mempunyai kewenangan tanpa batas dan dapat memperlakukan masyarakat dengan sekehendaknya.
- Paradigma polisi sipil dianggap akan membuat anggota kehilangan semua kemudahan dan fasilitas diluar dinas, yang selama ini diperoleh dalam statusnya sebagai anggota polisi. Akibatnya mereka akan kehilangan sebagian penghasilan mereka diluar gaji, yang selama ini didapat dengan cara-cara yang tidak benar.
Terkait dengan masalah resistensi, Kotter dan Schlesinger (1979) memperkenalkan teori untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan organisasi. Mereka menyatakan bahwa ada 6 hal yang dapat dilakukan seorang pemimpin untuk mengatasi resistensi, yaitu melalui Komunikasi, Patisipasi, Fasilitasi, Negosiasi, Manipulasi dan Paksa.
Dikaitkan dengan pola kepemimpinan yang visioner, maka yang dapat dilakukan untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan paradigma polisi sipil adalah:
a. Komunikasi: Sebagai Spoke Person, Pemimpin harus memberikan informasi tentang paradigma polisi sipil dan memberikan alasan – alasan logis mengapa perubahan paradigma itu harus dilakukan oleh Polri.
b. Partisipasi: Sebagai agent of change, pemimpin harus melibatkan anggota untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan paradigma polisi sipil, seperti contohnya, cara-cara patroli, peningkatan pelayanan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian anggota akan mempunyai komitmen terhadap perubahan tersebut.
c. Fasilitasi: Sebagai Coach, pemimpin harus memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan, dan menganalisa area-area penugasan mana yang mengalami resistensi untuk dicarikan jalan kelauarnya.
d. Negoisasi: Sebagai direction setter,pemimpin menegosiasiakan alasan resistensi anggota baik secara formal maupun informal, sehingga terdapat win-win solution bagi anggota maupun organisasi.
e. Manipulasi: Sebagai direction setter, pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi kepatuhan, antara lain dengan memberikan pengharagaan (reward) bagi anggota yang mau untuk berubah.
f. Paksa: Sebagai direction setter, Pemimpin memberikan paksaan dengan cara melakukan punishment terhadap anggota yang tetap tidak mau berubah, dan tetap melakukan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai sipil, walaupun telah diberi penjelasan tentang perubahan paradigma polisi sipil.

III. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kepemimpinan yang visioner adalah kepemimpinan yang selalu menggunakan visi organisasi sebagai pedoaman arah tujuan organisasi. Dikaitkan dengan perubahan, pemimpin yang visioner mempunyai 4 fungsi yaitu sebagai penentu kebijakan (direction setter), juru bicara (spoke person), pelopor perubahan (agent of change) dan pelatih perubahan (coach)
b. Paradigma Kepolsian sipil adalah kepolsian yang mengedepankan nilai – nilai sipil seperti demokrasi, transparansi dan akuntabel, dalam pelaksanaan tugasnya serta selalu mengabdi pada kepentingan rakyat.
c. Upaya untuk mengatasi resistensi dalam perubahan paradigma dilakuakn melalui 6 cara yaitu Komunikasi, Patisipasi, Fasilitasi, Negosiasi, Manipulasi dan Paksaan.
2. Saran
a. Perlu ada suatu mekanisme reward and punishment yang jelas dalam memotivasi anggota untuk mau berubah .
b. Untuk menentukan apakah seseorang itu adalah pemimpin yang visoner, maka perlu diadakan ”fit and proper test” internal, terutama dalam mengisi jabatan-jabatan kepala kesatauan baik pembinaan maupun operasioanal, termasuk Kasatwil dari segala tingkatan , mulai dari kapolsek hiongga Kapolda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar