Rabu, 03 Juni 2009

Good Governance Dalam Tugas Harkamtibmas

IMPLEMENTASI “GOOD GOVERNANCE” DALAM

PELAYANAN POLRI DI BIDANG HARKAMTIBMAS

GUNA MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT


I. PENDAHULUAN

Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang lalu memiliki dampak yang sangat besar yaitu terpuruknya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pemerintah dan Bangsa Indonesia menyadari bahwa krisis tersebut antara lain disebabkan oleh tata kelola penyelengaaraan Negara yang buruk (poor governance).[1] Oleh sebab itu dalam era reformasi, tuntutan masyarakat akan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) semakin meningkat.

Fungsi Kepolisian adalah salah satu bagian dari fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan kemanan dan ketertiban. Gavin Drewry (1975) mengatakan bahwa “Police is a visible manifestation of governmental authority. In their hand rest responsibility for day to day application of the criminal law and maintenance of order”[2]. Dengan demikian prinsip – prinsip good governance juga menjadi tuntutan masyarakat terhadap Polri. Polri diharapkan dapat mereformasi dirinya sehingga dapat mengimplentasikan “Good Governance” tersebut.

Perubahan pada masyarakat akan akan berimbas pada pekerjaan pemolisian.[3] Guna menjawab tuntutan masyarakat tersebut, Polri pun kemudian melakukan reformasi di segala bidang baik di bidang structural, instrumental, maupun cultural dan sebagai puncaknya, adalah peresmian program “Quick Wins” oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Mabes Polri pada tanggal 30 Januari 2009. Reformasi tersebut dilakukan di seluruh dimensi tugas kepolisian baik di bidang penegakan hokum, pelayanan masyarakat maupun pemeliharaan Kamtibmas. Tulisan ini akan membahas permasalahan tentang hal tersebut diatas yaitu bagaimanakah implementasi prinsip – prinsip “Good Governance” dalam tugas – tugas Polri memeliharan Kamtibmas sehingga dapat terwujud Polri yang dipercaya masyarakat.

II. PEMBAHASAN

1. Dimensi Tugas Kepolisian dalam Harkamtibmas

Dalam tugas memelihara situasi Kamtibmas, polisi mengenal apa yang dinamakan dengan Faktor Korelatif Kriminogen (FKK) atau Ambang gangguan, Police Hazard (PH) atau Potensi Gangguan, dan Ancaman Faktual (AF) atau Gangguan Nyata. FKK adalah situasi dan kondisi yang dapat menstimulir terjadinya gangguan kamtibmas. PH adalah situasi dan kondisi yang sangat potensial untuk menjadi gangguan Kamtibmas dan oleh sebab itu membutuhkan kehadiran polisi. AF adalah gangguan kamtibmas yang telah terjadi baik berupa tindak pidana maupun bencana alam.

FKK, PH dan AF sering disebut juga sebagai sebuah “Teori Gunung Es” dimana AF adalah puncak gunung es yang muncul di permukaan, sedangkan FKK dan PH terletak dibawah permukaan. Contoh dari ketiga dimensi ini adalah sebagai berikut: PHK oleh suatu pabrik terhadap karyawan adalah sebuah FKK. Karyawan pabrik kemudian melakukan unjuk rasa adalah PH, sedangkan unjuk rasa yang bersifat anarkis adalah AF.

Untuk mengantisipasi ketiga hal tersebut, Polisi juga mempunyai 3 type tugas dan wewenang yaitu tugas Pre-emtif, Preventif dan Represif. FKK diantispiasi dengan melakukan kegaiatan pre–emtif yaitu tugas Polri untuk melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat agar masalah – maslah social yang terjadi di masyarakat tidak berkembang menjadi gangguan Kamtibmas. Situasi PH diantisipasi dengan kegiatan Preventif yaitu kegiatan untuk mencegah timbulnya gangguan kamtibmas melalui upaya – upaya pembinaan masyarakat, penjagaan, pengawalan, pengaturan dan patroli. Sedangkan AF dihadapi dengan tugas represif yaitu tugas penegakan hukum dengan melakukan upaya – upaya penyidikan dan upaya paksa.

2. Prinsip – Prinsip Good Governance

Munculnya konsep “Good Governance” berawal dari adanya kepentingan lembaga – lembaga donor seperti PBB, Bank Dunia atau IMF dalam meberikan bantuan pinjaman modal kepada Negara – Negara berkembang. Prinsip – prinsip Good Governance ditetapkan sebagai syarat untu mendapatkan modal tersebut.[4] Konsep ini kemudian mengemuka menjadi acuan bagi seluruh organisasi pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya. Terdapat banyak definisi tentang apa yang dimaksud dengan “Good Governance”, antara lain Bank Dunia mengartikan “Good Governance” sebagai pelayanan public yang efisien dan pemerintah yang bertanggung jawab pada publiknya. Namun demikian “Good Governance” pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) prinsip utama yaitu Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi.

Transparansi (transparency) berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait. Transparansi dibangun atas kebebasan arus informasi yang reliable, dan dapat diakses oleh publik, dengan demikian public dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Akuntabilitas (accountability) adalah kapasitas setiap instansi pemerintah untuk mempertanggung jawabkan pencapaian tujuan dan pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan Partisipasi (Participation) adalah merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan dan pelaksanaan tugas pemerintah, dimana masyarakat tidak lagi hanya bersifat sebgai obyek belaka, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai peran penting.[5]

Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik tersebut adalah mutualistik dan salin mendukung. Tanpa adanya partisipasi public untuk mengamanakan proses penyelegaraan Negara sulit diharapakan adanay akuntabilitas dan transparansi. Demikian juga sebaliknya partisipasi masyrakat tidak akan berjalkan efektif tanpa danya transparansi dan kebebasan informasi.

3. Prinsip – Prinsip “Good Governance” dalam tugas Harkamtibmas

a. Transparansi

Dalam setiap tindakan kepolisian yang dilakukan oleh Polri baik dalam tugas pre-emtif, preventif, maupun represif, Polri sudah mulai harus terbiasa untu berbagi informasi yang benar dan up to date kepada masyarakat. Seperti halnya dalam tugas preventif penjagaan dan pengaturan lalu lintas, polentas sudah tidak boleh lagi melakukan jebakan – jebakan kepada pelanggar lalu lintas. Selain itu, bila melakukan operasi kepolisian atau razia, anggota Polri haru menyadari bahwa adalah hak warga masyarakat untuk menanyakan identitas maupun surat perintah petugas, sehingga petugas tidak boleh marah bila ada masyarakat yang menayakan hal tersebut.

Pentingnya transparansi akan semakin terlihat nyata pada tugas – tugas represif. Masyarakat yang berperkara, baik sebagai pelapor, saksi ataupun tersangka harus dapat memantau perkembangan hasil penyidikan Polisi. Hal inilah yang dikembangkan oleh jajaran reserse dalam program transparansi penyidikan memalui Surat pemberitahuan Perkembanagan Hasil penyidikan (SP2 HP).Di Jajaran Polda Metro Jaya, SP2HP saat ini sudah dapat diakses melalui website www.reskrimum.metro.polri.go.id , bahkan di jajaran Bareskrim Mabes Polri SP2HP sudah dapat diakses melalui SMS. Hal ini juga merupakan salah satu progam dalam yang kebijakan “Quick Wins” yang baru diresmikan oleh Presiden. Dengan adanay transparansi maka Polri akan dipercaya oleh masyarakat sebab masyarakat dapat mengetahui secara jelas tentang berbagai informasi yang dibutuhkan terkait dengan tugas – tugas kepolisian.

b. Akuntabilitas

Akuntabilitas terkait dengan penggunaan sumber daya baik materil, anggaran, personil dan sebagainya yang digunakan oleh Polri Dalam pemeliharaan Kamtibmas, Polri harus mampu mempertanggung jawabkan anggaran yang digunakan dalam tugas – tugas premetif, preventif maupun represif. Saat ini dukungan anggaran melaui mata anggaran Harkamtibmas sudah cukup memadai, namun hal ini harus dapat dipertanggung jawabkan secara jelas kepada masyarakat.

Akuntabilitas juga terkait dengan pertanggungang jawab terhadap pencapaian sasaran – sasaran organisasi. Dalam penyidikan kasus pidana, penyidikan yang bersifat ilmiah (scientific Criminal Investigation) haruslah menjadi pedoman bagi penyidik untuk pengungkapan kasus. Dalam pengamanan kegiatan masyarakat seperti unjuk rasa, harus jelas siapa berbuat apa dan bertanggung jawab kepada siapa. Dengan akuntabilitas maka kepercayaan masyarakat akan meningkat. Citra Polri akan semakin baik sehingga citra Polri sebagai lembaga publik yang terkorup, sebagaimana hasil penelitian Mayarakat Transparansi Indonesia akan berubah.

c. Partisipasi

Polri harus memahami bahwa seberapa besar dan hebatnya kekuatan yang ada, Polri tidak akan dapat memelihara Kamtibmas seorang diri, Polri harus bermitra dengan masyarakat. Untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, polisi harus mengembangan hubungan yang positif, dimana masyarakat ikut berpartispasi dan terlibat dalam usaha – usaha pemeliharaan Kamtibmas.[6] Hal inilah yang menjadi dasar dari paradigma Community Policing yang saat ini sedang dikembangkan oleh Polri. Melalui Community Policing maka tugas pemeliharaan Kamtibmas akan lebih ringan karena Polisi akan dibantu oleh masyarakat.

III. KESIMPULAN

Tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan agenda reformasi yang harus dilaksanakan oleh Polri. Untuk itu Polri harus mengimplementasikan prinsip – prinsip Good Governance yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam setiap tugas pemeliharaan Kamtibmas baik tugas pre-emtif, preventif maupun represif. Dengan implementasi prinsip – prinsip tersebut maka diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan dapat meningkat.



[1] Pohan, Max, “Mewujudakan Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik (Lokal Good Governance) Dalam Era Otonomi Daerah “, Makalah pada Musyawarah Besar Pembanguna , 29 September 2001.

[2] Gavin Drewry “Law, Justice and Poltics” Logman London, 1975

[3] Prof. Dr. Satipto Raharjo, “Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia”, Kompas, 2002.

[4] DR. Sadjijono, “Polri dan Good Governance”, Laksbang Media Tama, 2008.

[5] Pohan, Max, “Mewujudakan Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik (Lokal Good Governance) Dalam Era Otonomi Daerah “, Makalah pada Musyawarah Besar Pembanguna , 29 September 2001.

[6] Rony Lihawa, “Memahami Community Policing”, YPKIK, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar