Rabu, 03 Juni 2009

MENANGGULANGI PREMANISME MELALUI PROBLEM ORIENTED POLICING (POP)

IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP POLMAS DALAM PENANGGULANGAN PREMANISME MELALUI PROGRAM “PROBLEM ORIENTED POLICING”

By : Sambodo Purnomo Yogo, SIK, MTCP

I. PENDAHULUAN
Tidaklah salah bila dikatakan bahwa aparat kepolisian saat ini masih sangat berorientasi pada keberhasialan pengungkapan kejahatan. Hal tersebut dikarenakan prestasi polisi saat ini dinilai dan diukur oleh suatu system yang menghargai kecakapan polisi dalam pengungkapan kasus dan penyelesiann perkara. Hal ini bertolak belakang dengan konsep community policing atau Polmas, yang didengung-dengungkan sebagai paradigm baru kepolisian. Prof Satjipto Raharjo menyatakan bahwa Pemolisian tidak hanya untuk melawan kejahatan tetapi untuk melenyapkan sumber kejahatan, dan suskses dari community policing bukan hanyadalam menekan angka kejahatan tetapi manakala kejahatan tidak terjadi.
Disisi lain , saat ini masalah premanisme menjadi topik yang hangat di media masa. Hal ini terkait dengan semakin menjamurnya kelompok-kelompok preman baik yang berkedok organisasi masa maupun kelompok preman jalanan. Semakin kuatnya sorotan masyarakat terhdap gangguan premanisme ini sehingga Polri melakukan operasi premanisme dan hanya dalam 10 hari (20 januari – 1 Maret 2009) berhasil menangkap ada 5.044 orang yang diduga melakukan kejahatan, sedangkan yang ditahan 1.290 orang. 3.754 orang lainnya didata dan dicatat. Perang melawan premanisme tidak akan kunjung selesai, namun demikian, aparat kepolisian harus selektif membidik sasaran tanpa melupakan koridor hukum yang berlaku. Razia pemberantasan preman secara hantam kromo, meski untuk tujuan positif, bisa memebuat polisi menggunakan wewenangnya secara berlebihan (accesive of force) yang bertentangan dengan hukum.
Dari latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implementasi prinsip – prinsip Polmas dalam menanggulangi premanisme melalui program ”Problem Oriented Policing”? Agar memudahkan dalam pembahasan permasalahan tersebut menjadi lebih jelas maka dibagi menjadi pokok-pokok persoalan yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan Konsep Community Policing dan Problem Oriented Policing (POP)
b. Apakah yang dimaksud dengan premanisme, dan bagaimana penanggulangannya melalui POP?
II. PEMBAHASAN
1. Konsep Community Policing dan Problem Oriented Policing
Konsep Community Policing lahir dari kesadaran pihak kepolisian bahwa dirinya tidak akan mampu menangani kejahatan sendirian. Keterbatasan sumber daya, materi, anggaran dan sebagainya menuntut kepolisian untuk bermitra dengan masyarakat dan bersama-sama masyarakat memecahkan masalah yang terjadi. Dua hal pokok inilah, yaitu Kemitraan (Partnership) dan Pemecahan Masalah (Problem solving) menjadi tiang utama dari Polmas.
Ada banyak definisi tentang Polmas, salah satunya adalah dari The United States Department Of Justice yang menyatakan bahwa “Community Policing is, in the essence, a collaboration between the police and the community to identifies and solves community problem. With the police no longer the sole guardian of law and order, all members of community become active allies in the effort to enhance the safety and quality of neighborhoods.” (Pomas pada prinsipnya adalah sebuah kerjasama antara polisi dan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan masyarakat, dimana polisi tidak lagi menajdi satu-satunya penjaga ketertiban, seluurh masyarakat bmenjadi mitra dalam usaha meningkatkan keamanan dan kualitas hidup lingkungan)
Dalam Tubuh Polri sendiri, konsep Polmas sudah dikukuhkan melalui Skep Kapolri No 737/X/2005, Skep Kapolri no 431, 432 dan 433 / VIII/2006 dan terakhir dengan Perkap Kapolri no 7 tahun 2008. Namun demikian, implementasi dari konsep tersebut belum berjalan maksimal dan masih terdapat perbedaan persepsi dalam pelaksanaanya.
Sebagai bagian dari Prinsip Community Policng (partnership dan problem solving) ada sebuah gaya pemolisian yang disebut dengan Problem Oriented Policing (POP). POP diperkenalkan pertama kali oleh Herman Goldstein pada tahun 1979. POP adalah sebuah pemolisian yang berorientasi pada pemecahan masalah- masalah masyarakat.
Dalam memecahkan masalah masyarakat POP menggunakan prosedur yang disebut dengan SARA , yang menjelaskan 4 tahap dalam POP yaitu Scanning (pemetaan permasalahan), Analyzing (Analisa terhadap masalah), Respons (tanggapan atau upaya penanggulangan masalah) dan Assesment (Penilaian terhadap upaya yang dilakukan, efektif atau tidak, atau malah menimbulkan permasalahan baru)
2. Konsep Premanisme
Istilah "premanisme" berasal dari kata dasar "preman" yang dalam Kamus besar bahas Indonesia diartikan sebagi ”sebutan kepada orang jahat seperti permapok, penodong dan lain-lain”. Kata Preman sendiri berasal dari kata bahasa Belanda, vrijman = orang bebas. Premanisme sendiri berarti cara atau gaya hidup seperti preman yang mengedepankan kekerasan.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian terhadap budaya premanisme, antara lain oleh Wakter B Miller, yang menyatakan bahwa Preman merupakan produk ”Lower Class Culture” dimana didalam budaya premanisme itu terdapat 6 ”vocal concern” yaitu Trouble (selalu mencari keributan atau masalah), Toughness (keberanian atau ketangguhan), Smartness (kecerdikan), Excitement (Kegembiaraan), Outonomy (otonomi, menolak terhdap segala aturan), fate (nasib, yaitu kepercayaan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk menjadi penjahat). Dari uraian diatas tergambar bahwa preman merupakan suatu budaya sendiri (sub culture) yang terlepas dari budaya dominan, sehingga akan sangat sulit untuyk memberangusnya secara tuntas dengan cara-cara represif sekalipun.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terkategori marginal, para preman yang banyak beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia tidak lagi sekadar melakukan aksi kejahatan kelas teri seperti memaksa pemilik kendaraan bermotor membayar tiket parkir dua kali lipat dari tarif atau memalak para pemilik toko untuk menyediakan uang keamanan. Tetapi, lebih dari itu, yang mereka lakukan kini tak jarang adalah mengembangkan aksi dalam pola yang lebih terorganisasi -ikut dalam kegiatan dan kepentingan politik praktis- sehingga posisi tawar (bargaining position) mereka menjadi lebih kuat. Bahkan, terkadang mereka juga cukup dekat dengan pusat-pusat kekuasaan tertentu. Habitat yang menjadi area subur bagi perkembangan aksi premanisme kini tidak lagi hanya di dunia prostitusi, perjudian, dan dunia kriminal lain. Sebagian yang lain bahkan diduga telah berhasil menanamkan uang hasil palakannya di berbagai usaha yang sifatnya legal.
3. Penanggulangan Premanisme melaui POP
Dalam strategi atau cara melakukan pencegahan kejahatan, ada suatu konsep yang cukup menarik untuk disimak yaitu konsep “segitiga kejahatan”. Konsep ini memandang kejahatan dari tiga sisi yaitu pelaku (offender, korban (victim) dan lingkungan kejahatan (crime environment). Bila pencegahan kejahatan akan dilakukan maka ke tiga hal tersebut harus ditangani dengan baik. Oleh sebab itu dapat terlihat bahwa penanggulangan premanisme dengan melakukan penangkapan orang – orang yang diduga preman,tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk mengetahui cara – cara terbaik dalam penanganan terhadap sisi ”Environment”, ”Victim” dan ”Offender” itulah kita memerlukan bantuan partisipasi masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar dari POP.
Mengacu pada POP, maka penggulangan Premanisme dilakukan dengan menggunakan model SARA yaitu Scanning, Analysis, Response dan Assesment.
a. Scanning : Pemetaan masalah merupakan tindakan awal petugas dalam mengidentifikasi dan mengenali permasalahan yang terjadi di lingkungan komunitas yang menjadi tanggungjawabnya. Polisi bersama – sama masyarakat memetakan lokasi premanisme, berapa kekuatannya, ada berapa kelompok, siapa pemimpinnya, bagaimana modus operandinya dan sebagainya.
b. Analysis (Analisa Masalah): Setelah diketahui permasalahan yang terjadi di lingkungan komunitas, maka petugas selanjutnya menentukan permasalahan apa yang akan ditangani berdasarkan prioritas yang telah ditentukan. Misalnya , kelompok mana yang paling meresahkan, yang akan ditangkap terlebih dulu, apa akibatnya bila ditangkap, sumber daya apa yang digunakan untuk menangkap
c. Response (Tindak Lanjut Terhadap Masalah). Dalam tahapan ini Petugas melakukan tindakan-tindakan nyata untuk menangani masalah yang premanisme yang terjadi, mencegah agar masalah tersebut tidak terjadi lagi dan memelihara kondisi yang sudah tercipta bila masalah sudah tertangani.
Dalam melakukan upaya tindak lanjut, langkah – langkah yang dapat dilakukan adalah:
- Brainstorm / menggali berbagai upaya tindak lanjut yang mungkin dapat dilakukan. Dengan langkah ini maka akan ditemukan berbagi alternative penyelesaian masalah.
- Mempertimbangkan kelayakan dan memilih di antara berbagai alternative penyelesaian masalah.
- Membuat rencana penyelesaian masalah sesuai dengan alternatif penyelesaian masalah yang telah ditentukan.
- Prosedur apa yang harus dilakukan tatkala rencana tidak berjalan atau tatkala rencana tidak dilaksanakan dengan benar?
d. Penilaian (Assesment) Penilaian adalah tahap terakhir dari upaya penyelesaian masalah. Dalam tahap ini petugas menilai atau mengevaluasi apakah penanganan preman telah mencapai hasil yang diharapkan serta apa dampak dari penyelesaian masalah tersebut.
Sebagaimana telah diuaraikan diatas maka POP tidak akan berhasil tanpa bantuan masyarakat, karena merekalah yang menguasai informasi dan segala hal yang terkait dengan premanisme dilokasi kehidupan mereka. Selain itu upaya penanggulangan premanisme dengan penerapan POP akan melibatkan warga masyarakat sehingga hasil yang dicapai akan semakin besar serta masyrakat akan terdorong untuk aktif memelihara kondisi kamtibmas yang sudah konsudif tersebut.



III. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Konsep Community policing intinya merupakan suatu tindakan bersama antara polisi dan masyarakat dalam pembinaan Kamtibmas yang didasarkan pada kepercayaan akan profesionalisme kepolisian serta kesediaan masyarakat untuk bekerjasama. Sebagai bagian dari community policing ada sebuah gaya pemolisian Problem Oriented Policing (POP) yaitu gaya pemolisian yang mengkedapakan pemecahan masalah – masalah yang timbul di masyarakat.
b. Budaya premanisme telah menimbulkan keresahan di masyarakat sehingga Polri harus segera bertindak. Namun demikian premanisme akan sulit ditangani bila hanya dilakukan upaya represif. Sebab hal itu tidak menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan oleh Polisi adalah bersama-sama masyarakat menyelesaikan akar permasalahan dari kelompok premanisme. Untuk menangani premanisme berdasarkan POP maka perlu dilakukan SARA atau Scanning, Analysis, Response, dan Assesment.
2. Saran
a. Perlu adanya pelatihan tentang penggunaan model SARA kepada anggota kepolisian terutama yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dengan pelatihan tersebut, anggota akan trampil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat.
b. Program penaggulangan premanisme harus dijadikan agenda rutin operasi kepolisian agar tercipata situasi kamtibmas yang kondusif dan menimbulkan rasa aman pada masyarakat sehingga apresiaisi masyarakat terhadap Polri akan meningkat.

KOMUNIKASI EFEKTIF DENGAN MEDIA MASSA

MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI EFEKTIF DENGAN MEDIA MASSA
GUNA MENCIPTAKAN OPINI PUBLIK YANG POSITIF TERHADAP POLRI

By : SAMBODO PURNOMO YOGO, SIK, MTCP


I. PENDAHULUAN
Opini publik yang terbentuk di masyarakat belakangan ini harus diakui kurang begitu menggembirakan. Pencitraan positif yang dibangun sebagai komitmen menuju profesionalisme polisi, ternyata sering “dikotori” oleh ulah oknumnya sendiri sehingga polisi didera vonis yang negatif. Buruknya citra polri tersebut tercermin dari hasil survey Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, kepolisian menjadi institusi dengan tingkat suap tertinggi. Menurut Manajer Riset dan Kebijakan Transparency, Frenky Simanjuntak, praktek penyuapan di kepolisian mencapai 40 persen. Jumlah ini dihitung berdasarkan rasio total transaksi responden dan pelaku bisnis terhadap institusi kepolisian dengan transaksi suap rata-rata mencapai Rp 2,3 juta.
Berbicara tentang opini publik terhadap Polri apakah positif atau negatif, tentunya tidak hanya tergantung kepada bagaimana Polri dalam pelaksanaan tugasnya selalu profesional dan sesuai harapan publik, akan tetapi juga tergantung pada bagaimana publik menerima informasi tentang apa yang telah dilakukan Polri dan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai Polri dalam pelaksanaan tugasnya.Disisi lain, opini publik yang positif sangat diperlukan institusi Polri dalam menjalankan tugas pokoknya, hal ini dikarenakan opini publik yang positif akan membentuk citra Polri yang positif pula, yang pada akhirnya dapat berakibat meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Media massa sebagai salah satu pembentuk opini publik sangat berperan dalam proses pembentukan citra. Melalui media massa bisa didisain proses pembentukan opini publik, sehingga hal-hal positif yang sudah dilakukan Polri bisa diketahui masyarakat. Efek yang diharapkan adalah munculnya apresiasi masyarakat terhadap Polri.
Mengacu pada ilustrasi tersebut, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: “bagaimanakah membangun opini publik yang positif terhadap Polri melalui komunikasi efektif antara Polri dan media massa? Pokok persoalan sebagai acuan dalam membahas permasalahan tersebut adalah:
1. Apakah yang dimaksud Opini Publik serta bagaimana keterkaitannya dengan peran Media Massa?
2. Apakah yang dimaksud Komunikasi Efektif, dan bagaimana aktualisasinya dalam membangun interaksi antara Media Massa dan Polri guna menciptakan opini publik yang positif?

II. PEMBAHASAN
1. Opini Publik dan Peran Pers / Media Massa
Dalam pasal 1 Undang – Undang no 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. (Pasal 3 UU No. 40 Thn 1999)
Pers / Media massa sebagai ruang publik memiliki peran sebagai wahana informasi dan sebagai ruang masyarakat untuk memperoleh informasi, hal ini sejalan dengan pendapat Harsono (2004) dalam Adiwinoto (2007) yang menyatakan bahwa : “Media massa cetak dan elektronik merupakan ruang masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya”.
Melihat pemahaman tersebut di atas nampak bahwa media massa memegang peranan penting dalam membentuk Opini Publik. Karena informasi yang disajikan oleh media massa kepada publik, terlepas apakah berita tersebut benar sesuai fakta atau hanya pendapat seseorang atau wartawannya saja, akan memberikan pengaruh pada pembentukan opini publik terhadap yang diberitakan/ disampaikan.
Opini publik adalah unsur-unsur dari pandangan, perspektif dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian, keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu. Menurut John Dewey, “Public is about the what of belonging to the people; relating to, or affecting, a nation, state, or community; opposed to private. (Publik adalah tentang apa yang dimiliki oleh orang orang : hubungan, perasaan/ emosi, bangsa atau suatu komunitas.
William L. Rivers dan kawan-kawannya (Rivers 2003:ix) mengatakan bahwa pada dasarnya, kondisi di dunia nyata mempengaruhi media massa, dan ternyata keberadaan media massa juga dapat mempengaruhi kondisi nyata dunia. Hal ini dikarenakan isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial.
Peran media dalam membentuk opini publik semakin terbuka lebar sejak era reformasi dimana kebebasan Pers mengarah terjadinya liberalisasi Pers sehingga informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung tidak objektif, karena sudah mulai adanya muatan dan kepentingan terutama dari pihak media/Pers, bahkan muncul Pameo/istilah “ Bad News is Good News”.

2. Konsep Komunikasi Efektif
Komunikasi pada prinsipnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran tersebut bisa merupakan gagasan, informasi, opini dll . Teori Komunikasi yang paling terkenal adalah Laswell yang mengatakan bahwa proses komunikasi menyangkut “who says in what channel to whom with what effect”.
Dari definisi tersebut, terdapat unsur – unsur komunikasi yaitu:
- Siapa yang mengatakan (who) disebut sebagai sumber atau komunikator
- Apa (what ) disebut sebagai pesan
- Kepada siapa (to whom) disebut sebagai penerima atau komunikan
- Dengan cara bagaimana (how / in what chanel) disebut sebagai media.
- Dengan tujuan apa (in what effect) disebut sebagi tujuan
Bungin (2006) membagi tujuan komunikasi dalam 4 hal yaitu, Perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan prilaku (behaviour change), perubahan sosial (social change). Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu komunikasi yang efektif. Hal itu sesuai dengan pendapat seorang sarjana komunikasi, Emerson, ”Komunikasi yang dapat mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan oleh komunikator adalah komunikasi yang dikatakan efektif”.
Dilihat dari jenis komunikasi dalam masyarakat, Komunikasi Polri dengan pers / media massa adalah termasuk dalam komunikasi massa. Mc Quil (1994) dalam Bungin (2006) menyatakan bahwa ada beberapa ciri – ciri komunikasi massa yaitu sumbernya adalah organisasi formal, pengirmnya adalah profesioanl, bersifat impersonal dan pesannya beragam serta mempunyai nilai jual.

3. Membangun Komunikasi Efektif antara Polri dan Media Massa
Polri sebagai organisasi publik sangat rentan dengan adanya opini publik yang subyektif. Kerentanan ini dikaitkan dengan eksistensi Polri dalam tugasnya selalu bersentuhan dengan masyarakat. Kondisi ini yang mengharuskan Polri menjalin interaksi sinergis dengan Media Massa yang diposisikan sebagai kepanjangan suara organisasi organisasi.
Komunikasi yang efektif antara Polri dan Media Massa berarti Polri mampu untuk mempengaruhi Media Massa agar mempunyai sikap, pendapat, perilaku dan persepsi yang sesuai dengan yang diinginkan oleh Polri. Bila Media Massa sudah dapat dipengaruhi maka diharapkan pemberitaan yang muncul akan positif dan pada gilirannya akan menimbulkan opini publik yang positif terhadap Polri.
Untuk membangun Komunikasi Efektif maka komunikan (penerima pesan) dalam hal ini media massa harus percaya terhadap komunikator (pengirim pesan), dalam hal ini adalah Polri. Kredibilitas Polri menjadi modal utama agar komunikasi Polri dengan media Massa menjadi efektif. Namun kredibilitas bukan hal yang mudah. Hal ini bisa hilang ketika “komunikator”(Polri), “pesan” dan “media” yang digunakan dianggap tidak kredibel dan tidak dipercaya oleh komunikan (media massa).
Oleh sebab itu beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
a. Komunikator (Polri)
Komunikator harus orang yang tepat dan kredibel untuk menyampaikan pesan. Selain pejabat khusus bidang Humas Polri, para pejabat Kepolisian baik Polsek, Polres, Polda maupun Mabes, pada dasarnya adalah ornag – orang yang dipercaya oleh media untuk menyampaikan suatu Pers realease.
b. Pesan yang disampaikan.
Berita yang disampaikan harus tepat waktu, tepat sasaran, akurat dan benar. Walaupun dalam penyampaian informasi, Polri harus menyadari munculnya suasana dilematis yaitu : “yang benar tidak semuanya disampaikan, tetapi yang disampaikan harus benar”. Hal ini menjadikan komunikasi Polri harus dirancang secara tepat dan akurat agar transparansi dan akuntabilitas bisa diterima masyarakat, namun tidak merugikan Polri.
c. Media yang digunakan
Ada beberapa media yang dapat digunakan dalam menyampaikan berita / pesan yaitu:
- Komunikasi melalui bahan cetak atau tulisan, contoh; Laporan, Press release.
- Komunikasi melalui peralatan elektronik, contoh; E-mail, Konferensi jarak jauh dengan menggunakan satelit, Faksimile, Website (situs) di internet.
- Komunikasi secara berhadapan atau face to face, contoh Wawancara, konferensi pers, lobbying.
d. Komunikan (Media Massa)
Kemitraan harus terus dibangun dengan pihak media melalui
- Membuka Akses Informasi bagi Media.
Akses informasi yang dibuka bagi media dapat dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung dengan memperhatikan ketentuan informasi yang benar dan akurat dengan tidak merugikan kepentingan institusi Polri
- Kesetaraan dan Kesejajaran dalam Berkomunikasi.
Polri sebagai institusi yang harus bertanggung jawab kepada publik harus menyampaikan berita secara benar, akurat dan tepat sedangkan media sebagai penyampai informasi meskipun merdeka dan bebas tetap harus bertanggung jawab
e. Tujuan (Effect)
Effek yang diharapakan adalah media mempunyai sikap dan persepsi yang sama dengan Polri, sehingga berita – berita yang diturunkan akan mengangkat opini publik terhadap Polri yang baik dimata masyarakat. Dengan opini yang baik maka kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan meningkat.

III. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Opini publik adalah perspektif masyarakat spontan yang mempunyai kepentingan terhadap individu atau kelompok. Media Massa meruapakn ruang publik untuk mendapatkan informasi sehingga pada dasarnya, opini publik merupakan produk Media Massa.
b. Komunikasi efektif tercipta manakala komunikasi dapat mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan oleh komunikator .
c. Komunikasi efektif yang terjadi antara Polri dengan Media Massa akan mendorong terjadinya suatu simbiosis mutualisme yang pada akhirnya masing-masing institusi akan bekerja secara profesional sesuai kompetensi yang dimiliki. Sinergitas ini akan mendorong organisasi Polri dalam mewujudkan visi dan misinya melalui opini publik yang positif dan berimbang.

2. Saran/ Rekomendasi
a. Divisi Humas Polri harus melakukan peningkatan kemampuan individu dan empowering (pemberdayaan organisasi) secara berkesinambungan untuk mencapai Profesionalitas kehumasan.
b. Polri perlu merekrut sarjana komunikasi/ publikasi untuk mendukung upaya optimalisasi fungsi Humas dalam pengelolaan dan penyampaian informasi kepada publik
c. Polri perlu membuka akses bagi publik untuk emeperoleh informasi dengan tetap memperhatikan kepentingan organisasi dan pelaksanaan tugas Polri.

PARADIGMA POLISI SIPIL DAN PATROLI KEPOLISIAN

AKTUALISASI PARADIGMA KEPOLISIAN SIPIL DALAM
MEWUJUDKAN PELAYANAN PRIMA PATROLI KEPOLISIAN
By : SAMBODO PURNOMO YOGO, SIK, MTCP


I. PENDAHULUAN
Sebagai amanat reformasi, semenjak dikeluarkannya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran, fungsi dan kedudukan TNI dan Polri maka secara struktural Polri terpisah dari TNI yang militer. Pemisahan (kemandirian) Polri itu sendiri bagi Polri bukanlah sebagai tujuan tetapi sebagi langkah dimulainya paradigma baru Polri yaitu paradigma Kepolsian Sipil. Walau sampai saat ini proses transisi masih terus berjalan, bahkan disebutkan bahwa Polisi Indonesia kini memang tidak lagi berkarakter militer, tetapi baru sekedar ”a civilian in uniform” atau orang sipil yang diberi baju seragam.
Ditengah masa transisi tersebut, Polri tetap dituntut untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Namun kekecewaan masyarakat terhadap pelayanan Polri masih saja terjadi. Bahkan Laporan tahunan tahun 2007 Komisi Ombudsman Nasioanal menempatkan Polri sebagai Institusi Pemerintah yang terbanyak dilaporkan oleh masyarakat, disusul dengan Pemerintah Daerah (peringkat 2), dan Peradilan (peringkat 3).
Keluhan masyarakat tersebut juga tertuju kepada praktek patroli kepolisian baik yang dilakukan oleh Polantas maupun Fungsi Samapta. Patroli yang bertujuan untuk melakukan pencegahan kejahatan dan pendekatan masyarakat malah menjadi sumber keluhan masyarakat. Beberapa keluhan tersebut antara lain, pelayanan yang diskriminatif, pungli, lambat datang ke TKP, meminta bayaran, tidak transparan dan sebagainya. Ekspektasi masyarakat yang dibangun oleh kuatnya sistem globalisasi dan nilai – nilai demokrasi semakin menguatkan tuntutan agar Polri memperbaiki sistem pelayanan Patroli kepolisan menuju ke arah pelayanan prima. Perbaikan pelayanan Patroli tersebut merupakan hal yang cukup penting menuju kearah perbaikan citra Polri dimata masyarakat.
Mengacu kepada latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah “Bagaimanakah Aktualisasi Paradigma Kepolisian Sipil dalam Mewujudkan Pelayanan Prima Patroli Kepolsian?” Sedangkan persoalan-persoalan penulisan ini dapat diidentifkasikan sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan Paradigma Kepolisian Sipil dan Konsep Pelayanan Prima?
b. Bagaimanakah aktualisasi paradigma Kepolisian Sipil dalam patroli kepolisian dikaitkan dengan pelayanan yang prima?

II. PEMBAHASAN
1. Paradigma Kepolisian Sipil dan Tugas Patroli
Paradigma adalah sekumpulan norma dan nilai serta pra kondisi yang mempengaruhi perilaku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Oleh sebab itu Paradigma Polisi Sipil harus menjadi acuan dari norma dan nilai – nilai yang menjiwai pelaksanaan tugas Polri sehari – hari, termasuk tugas – tugas pelayanan. Ada banyak pendapat para ahli tentang Polisi Sipil. Salah satunya adalah dari Institute For Defense Strategy and Peace Studies (IDSPS). Lembaga ini menberikan definisi dari Polisi Sipil sebagai berikut:
a. Polisi Sipil adalah Polisi yang menghormati hak – hak sipil, serta mampu mengawal nilai – nilai sipil seperti demokrasi, akuntabel, transparan dan lain - lain.
b. Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusian dan padanya melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, dan persuasif.
Perubahan dari kultur militer ke kultur sipil memerlukan adaptasi yang intensif, tidak saja mengganti atribut atribut yang berbau militer dengan atribut-atribut yang lebih berwajah sipil (civilian style blazer) , tetapi juga melalui berbagai upaya organisasi yang meliputi perubahan pada aspek struktural, instrumental maupun kultural. Mewujudkan polisi sipil juga memerlukan perubahan mendasar sikap dan perilaku polisi, yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Tugas – tugas patroli kepolsian juga harus disesuaikan dengan perubahan paradigma tersebut, sebab tugas patroli adalah salah satu dari tugas utama kepolisian. Bahkan disebutkan bahwa 65% dari polisi di Amerika Serikat, 64% di Kanada dan 56% di Inggris.ditugaskan untuk patroli. Dengan perubahan paradigma maka patroli kepolisian harus lebih bersifat pro-active dari pada reaktif. Pelaksanaan tugas patroli juga harus lebih berorientasi pada masyarakat (comunity oriented policing) dan penyelesaian masalah (Problem Oriented Policing).

2. Budaya Pelayanan Prima
Pada awalnya. konsep pelayanan prima timbul dari kreativitas para pelaku bisnis.yang kemudian diikuti oleh organisasi-organi¬sasi nirlaba dan instansi pemerintah. sehingga dewasa ini buda¬ya pelayanan prima tidak lagi hanya dilakukan oleh dunia bisnis tetapi juga oleh aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan yang sebaik –baiknya kepada masyarakat.
Dalam sistem ketatanegaraan Kepolisian adalah bagian dari aparatur pemerintah. Oleh sebab itu maka tugas Polri yang beorientasi pada pelayanan (service oriented policng) haruslah menggunakan konsep – konsep Pelayanan Prima, sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 tentang Pelayanan Prima Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat, yang mencakup a) Kesederhanaan, b) Kejelasan dan Kepastian, c) Keamanan, d) Keterbukaan, e) Efisien, f) Ekonomis, g) Keadilan, h) Ketepatan Waktu.
MacKinsey, sebagimana dikuitp oleh Fernanda (2000) menyebutkan bahwa terdapat 7 (tujuh) komponen S dalam perubahan kultur organisasi menuju pelayanan prima. Ketujuh ”S” tersebut adalah Strategy, Structure, System, Staff, Skill, dan Shared Values (Pembagian Nilai – Nilai Organisasi). Pada intinya strategi tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya perbaikan mutu pelayanan, suatu organisasi harus berfikir secara menyeluruh, tidak hanya perbaikan terhadap produk layanan saja, tetapi juga struktur organisasi, perilaku kerja, ketrampilan dan sebagainya.

3. Aktualisasi Polisi Sipil dalam Patroli Kepolisian
Polisi Sipil adalah polisi yang berwatak sipil dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi setiap warga masyarakat, menjaga harkat dan martabat manusia, menghindari tindakan kekerasan dan lebih menggunakan hati nurani serta mau mendengar setiap aspirasi atau keluhan-keluhan masyarakat. Kondisi ini merupakan sesuatu hal yang berbeda dengan paradigma militeristik yang cenderung bersifat kaku dan berorientasi kepada kepentingan penguasa. Sebagai polisi sipil Polri diharapkan mamapu untuk berperan ”protaganis” dari pada ”antagonis”, serta dapat memutuskan secar tepat kapan ia harus bertindak sebagai ”a strong hand of society” dan kapan bertindak sebagai ”a soft hand of society.”
Perubahan paradigma tentunya akan membawa pengaruh terhdap tata cara dan konsep patroli kepolisian, karena patroli adalah bagian utama dari tugas Kepolisian. Perubahan pola patroli kepolisian dari paradigma militeristik ke paradigma sipil berdasarkan konsep pelayanan Prima terlihat dalam tabel berikut:
TABEL PENGARUH PERUBAHAN PARADIGMA TERHADAP PATROLI KEPOLISIAN DIKAITKAN DENGAN PELAYANAN PRIMA

KOMPONEN 7S
PARADIGMA MILITERISTIK PARADIGMA SIPIL

Strategy
(Strategi) Patroli bersifat reaktif dan lebih kearah upaya represif, melakukan razia dan penindakan Patroli bersifat pro-aktif, lebih kearah upaya pencegahan kejahatan (crime prevention) dan pemeliharaan ketertiban. Petugas lebih cepat datang ke TKP bila diperlukan.
Structure
(Struktur) Sangat bersifat birokratis, patroli menunggu perintah atasan terkait dengan rute dan cara patroli Anggota Patroli mempunyai kebebasan menentukan rute dan cara patroli sesuai kondisi wilayah
Style
(Gaya) Patroli lebih kearah ”show of force” menunjukkan kekuatan Lebih menekankan pada patroli dialogis dan berkomunikasi dengan masyarakat
Staff
(Anggota) Berprilaku sebagai “penguasa”, arogan dan kasar Berprilaku sebagai pelayan, santun dan ramah pd masyarakat
Skills
(Ketrampilan) Menekankan pada kemampuan melakukan upaya paksa Menekankan pada kemampuan komunikasi, pendekatan warga dan ”penyelidikan pendahuluan’ (preliminary investigation)
System
(Sistem) Patroli cenderung menggunakan roda 4 dan roda 2 demi mobilitas dan luas wilayah patroli, terkadang lebih bersifat Unit Reaksi Cepat Patroli cenderung berjalan kaki atau naik sepeda sehingga mempunyai kesempatan yang lebih banyak berkomunikasi dengan masyarakat
Shared Value
(Penyebaran Nilai) Komunikasi searah, anggota hanya menerima perintah. Pengawasan secara ketat dan kaku sehingga anggota kurang berani mengambil keputusan Komunikasi 2 arah, anggota berhak menyampaikan saran terhdap giat patroli. Pengawasan lebih fleksibel, sehingga anggota dapat melakukan diskresi sesuai sikon.

Perubahan konsep dan tata cara patroli kepolisian tersebut tentunya tidak serta merta dan dengan mudah dapat dilakukan. Diperlukan adanya komitmen yang kuat dan konsistensi dari para manajer kepolisian termasuk para pelaksana patroli. Tanpa adanya kemauan dan komitmen perubahan akan sulit terjadi.
Dengan adanya perubahan tersebut maka pelayanan prima patroli kepolsian sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 81 Tahun 1993 akan dapat lebih mudah terwujud. Wujud Pelayanan Prima patroli Kepolisan adalah sebagai berikut :
1) Kesederhanaan. Patroli diselenggarakan dengan cara yang mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit mudah untuk diakses oleh masyarakat yang mebutukan kehadiran polisi.
2) Kejelasan dan kepastian. Dimaksudkan adanya kejelasan dan kepastian mengenai Prosedur pelayanan patroli, Persyaratan pelayanan, kepastian mendatangi TKP, waktu reaksi (respond time) dan sebagainya
3) Keamanan. Pelaksanaan tugas patroli dapat memberikan pengamanan dan kenyamanan serta kepastian hukum bagi masyarakat.
4) Keterbukaan. Dimaksudkan prosedur untuk menghubungi polisi, no telepon panggilan daruarat dan prosedur untuk meminta kedatanagn patroli diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami.
5) Ekonomis. Masyarakat yang membutuhkan patroli tidak dipungut bayaran.
6) Keadilan yang merata. Tidak ada diskriminasi bagi pelayanan patroli. Patroli ditujukan demi keamanan seleuruh warga masyarakat dan bukan hanya satu golongan atau kelompok tertentu.
7) Ketepatan waktu. Dimaksudkan pelaksanaan patroli harus tepat waktu terutama terkait dengan kemampuan patroli mendatangi TKP secara cepat .
8) Efisien. Pelaksanaan patroli harus efisien dilihat dari sumber daya yang digunakan (BBM, Uang patroli, Harwat kendaraan, dsb) dikaitkan dengan hasil yang dicapai.

III. Penutup
1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Polisi Sipil adalah Polisi yang menghormati hak – hak sipil, serta mampu mengawal nilai – nilai sipil seperti demokrasi, akuntabel, transparan dan lain - lain. Selain itu Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusian dan padanya melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, dan persuasif. Karena Polisi adalah bagian dari pemerintahan maka ia harus pula mengimplementasikan prinsip – prinsip pelayanan prima dalam melakukan tugasnya sehari – hari.
b. Perubahan paradigma kepolisian akan mempengaruhi startegi, tata-cara, prosedur patroli dan kemampuan anggota patroli. Perubahan itu terkait dengan konsep 7 S, yaitu Strategy, Staructure, Staff, Skill, Style, System dan Shared value. Dengan adanya perubahan tersebut maka pelayanan prima patroli kepolisian akan dapat terwujud sesuai dengan harapan masyarakat.

2. SARAN
a. Perubahan strategy patroli harus disosialisasikan secara mendetail kepada para anggota patroli. Untuk itu perlu adanya pembekalan tentang tatacara patroli yang baik dan benar kepada seluruh anggota patroli.
b. Patroli yang baik tidak akan berjalan bila sarana parasarana dan sumber daya pendukung patroli tidak diberikan. Oleh sebab itu segala hal yang terkait dengan dukungan logistik patroli haus diberikan kepada anggota tanpa dikurangi sedikitpun sehingga anggota siap untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
c. Untuk efektifitas patroli agar patroli mempunyai cakupan wilayah yang luas namun tidak menghilangkan kesempatan untuk berkomunikasi dengan masyarakat maka model patroli harus disiasasti dengan menggabungkan patroli bermobil dengan patroli bersepeda. Caranya adalah dengan membuat alat khusus untuk menaruh sepeda dibagian belakang kendaraan. Dengan demikian di lokasi – lokasi tertentu petugas patroli dapat berhenti, memarkir kendaraannya dan melaksanakan ptroli bersepeda.

ISO 9001 : 2000 DAN CITRA PELAYANAN POLRI

IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN KUALITAS ISO 9001:2000 GUNA MENINGKATKAN CITRA PELAYANAN BPKB DITLANTAS POLDA METRO JAYA
By : SAMBODO PURNOMO YOGO, SIK, MTCP


1. PENDAHULUAN
Opini publik yang terbentuk di masyarakat belakangan ini harus diakui kurang begitu menggembirakan. Pencitraan positif yang dibangun sebagai komitmen menuju profesionalisme polisi, ternyata sering “dikotori” oleh ulah oknumnya sendiri sehingga polisi didera vonis yang negatif. Buruknya citra polri tersebut tercermin dari hasil survey Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, kepolisian menjadi institusi dengan tingkat suap tertinggi. Menurut Manajer Riset dan Kebijakan Transparency, Frenky Simanjuntak, praktek penyuapan di kepolisian mencapai 40 persen. Jumlah ini dihitung berdasarkan rasio total transaksi responden dan pelaku bisnis terhadap institusi kepolisian dengan transaksi suap rata-rata mencapai Rp 2,3 juta.
Terkait dengan Pelayanan di bidang SIM, STNK dan BPKB memang diakui sudah banyak terdapat kemajuan dan inovasi – inovasi yang dilakukan di seluruh jajaran Polri seperti adanya SIM dan Samsat keliling, SIM dan Samsat Corner, Samsat Drive Throu, Komputerisasi BPKB dan sebagainya, namun keluhan masyarakat terhadap pelayanan ini masih saja sering terjadi. Beberapa hal yang sering dikeluhkan masyarakat terkait dengan pelayanan ini adalah :
- Adanya pungutan biaya tambahan diluar ketentuan (pungli)
- Proses yang berbelit – belit dan tidak transparan
- Pelayanan lambat dan tidak ada kepastian waktu
- Anggota pelayan bersikap arogan dan kasar
- Kantor pelayanan kumuh dan kotor
Hal – hal inilah yang menjadi bahan pemikiran untuk diperbaiki sehingga pelayanan Polri khususnya di bidang Sim, STNK dan BPKB dapat sesuai dengan harapan masyarakat.
Di dalam dunia manajemen, masyarakat yang berurusan dengan pelayanan dapat dikatakan sebagai pelanggan (customer). Betapa pentingnya pelayanan yang berfokus pada pelanggan sehingga, keluhan ”customer” menjadi suatu titik tolak peningkatan pelayanan menjuju ke ”customer satisfaction” (kepuasan pelanggan). Didalam sistem kualitas manajemen atau Quality Management System (QMS), dikenal suatu standard mutu pelayan yang berbasis customer yaitu QMS ISO 9001-2000.
Salah satu pelayanan Polri yang telah mendapat sertifikat ISO 9001-2000 adalah pelayanan BPKB Ditlantas Polda Metro Jaya. Dengan peraihan sertifikat tersebut maka citra pelayanan BPKB di mata masyarakat dapat meningkat. Tulisan ini dimaksud untuk menjelaskan tentang aplikasi sistem manajemen kualitas (Quality Management System/ QMS) dan implementasinya di Unit Pelayanan BPKB Polda Metro Jaya. Sedangkan permasalahan pada penulisan ini adalah: ”Bagaimana aplikasi Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2000 guna meningkatkan Citra Pelayanan BPKB Ditlantas Polda Metro Jaya. Guna memudahkan pembahasannya, maka permasalahan tersebut dirinci dalam persoalan-persoalan sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud Sistem Manajemen Kualitas dan ISO 9001:2000?
b. Bagaimanakah implementasi Sistem Manajemen Kualitas pada Pelayanan BPKB di Ditlantas Polda Metro Jaya?
c. Bagaimanakah implikasi dari implementasi ISO 9001-2000 tersebut pada peningkatan citra pelayanan BPKB Ditlantas Polda Metro Jaya?

2. PEMBAHASAN
a. Sistem Manajemen Kualitas dan ISO 9001:2000
Definisi dari Standar ISO 9000 untuk sistem manajemen kualitas (Quality Management System, QMS) adalah sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/ atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu dimana kebutuhan atau persyaratan itu ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi.
QMS mendefinisikan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen kualitas secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar. Sistem ini mempunyai beberapa ciri, yaitu
(1) Terdapat beberapa prinsip umum dari sistem manajemen kualitas :
(a) Prinsip Fokus Pelanggan, customer satisfaction.
(b) Prinsip Kepemimpinan, leadership style yang mampu menggerakkan bawahan.
(c) Prinsip Keterlibatan orang-orang, kinerja individu atau kelompok kerja
(d) Prinsip Pendekatan Proses, sistem tata urut (querry) yang singkat dan efektif.
(e) Prinsip Pendekatan Sistem terhadap Manajemen, integrasi dan kesesuaian proses.
(f) Prinsip Peningkatan Terus-Menerus, fleksibel dan keunggulan kinerja.
(g) Prinsip Pendekatan Faktual dalam Pembuatan Keputusan berdasarkan informasi akurat.
(h) Prinsip Hubungan Pemasok yang Saling Menguntungkan
2) Sistem manajemen kualitas berlandaskan pada pencegahan kesalahan sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi kesalahan yang bersifat reaktif. Bagaimanapun proporsi terbesar (lebih dari 85 %) harus diarahkan pada pencegahan kesalahan sejak tahap awal.
3) Sistem manajemen kualitas peningkatan proses terus menerus (continuous processes improvement) yang berarti peningkatan stadar pelayanan terus menerus. Standar pelayanan ditetapkan oleh pihak manjemen berdasarkan kebutuhan dan kemampuan organisasi untuk mencapai standar tersebut.
4) Tujuan dari penerapan ISO 9001-2000 adalah:
(a) Pelanggan akan menerima produk yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan.
(b) Orang-orang dalam organisasi akan memperoleh peningkatan kondisi kerja, kepuasan kerja dan jaminan kestabilan kerja.
(c) Masyarakat secara umum akan akan memperoleh mamfaat pemenuhan persyratan hukum dan peningkatan keamanan.

b.. Implementasi Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2000 pada Pelayanan BPKB di Ditlantas Polda Metro Jaya

Sistem manajemen kualitas ISO 9001: 2000 merupakan sistem manajemen kualitas yang berfokus pada proses dan pelanggan, maka pemahaman terhadap persyaratan-persyaratan standar dari ISO 9001: 2000 ini akan membantu organisasi dalam menetapkan dan mengembangkan sistem manajemen kualitas secara sistematik untuk memenuhi kepuasan pelanggan (customers’ satisfaction) dan peningkatan proses terus menerus (continuous processes improvement).
Ruang lingkup dari ISO 9001: 2000 telah diimplemetasikan di pelayanan BPKB Ditlantas Polda Metro Jaya yang meliputi:
(1) Pelayanan BPKB kendaraan Baru (BBN I)
(2) Pelayanan BPKB Rubah bentuk, Ganti Nama (Rubentina) atau BBN II
(3) Pelayanan BPKB Duplikat
(4) Pelayanan Mutasi BKPB
(5) Pelayanan Blokir BPKB
Kedalam 5 (lima) jenis pelayanan tersebut telah diterapkan prinsip – prinsip ISO 9001-2000, yaitu:
(1) Prinsip Fokus Pelanggan, customer satisfaction.
- Setiap keluhan pelangggan baik yang disampaikan secara langsung, atau yag ditemukan oleh anggota tercatat secara detail termasuk juga solusinya, bahkan keluhan tersebut dapat berimplikasi kearah perubahan prosedur kerja. Segala perubahan itu terdokumentasi dan tercatat dengan baik sebagaih bahan anev mingguan, bulanan maupun audit tahunan.
- Setiap fasilitas, sarana dan prasarana ditujukan pada kemudahan pelanggan seperti ruang tunggu yang luas dan ber AC, jumlah loket pelayanan sesuai keperluan, Mushola, Smoking area, toilet yang bersih, papan petunjuk (direction board), komputer untuk mengakses informasi, querry digital counter (nomer urut dan nomer loket giliran pelayanan).
(2) Prinsip Kepemimpinan yang mampu menggerakkan bawahan.
Para manajer (Kasi, Paur, Baur) mengadakan pertemuan rutin mingguan, bulanan dengan para anggotanya, dimana disampaikan hasil analisa evaluasi kinerja, pencapaian target, pencapaian standard kesalahan penulisam BPKB dan sebagainya. Para anggota juga diminta masukan tentang prosedur dan tatacara kerja menuju kearah perbaikan. Semua kegiatan tersebut tercatat dan terdokumentasi secara detail.
(3) Prinsip Keterlibatan orang-orang, kinerja individu atau kelompok kerja.
Semua anggota harus terlibat mulai dari penetapan standart pencapaian, penetapan standar kinerja, dan sebaginya.
(4) Prinsip Pendekatan Proses, sistem tata urut (querry) yang efektif.
Dengan prinsip ini maka beberapa prosedur yang tidak perlu dihapus atau digantikan dengan prosedur lain yang lebih cepat dan mudah, termasuk dengan menggunakan tehnologi sehingga prosedur pelayanan BPKB menjadi lebih cepat dan akurat. Dengan demikian maka akan terjadi proses pencegahan kesalahan demi terjaminnya pencapaian standart.
(5) Prinsip Pendekatan Sistem terhadap Manajemen dan kesesuaian proses.
Dengan prinsip ini para manajer menetapkan standar kinerja seperti kecepatan pelayanan “one day service”, tingkat kesalahan 1%, Mengatasi keluhan pelanggan dalam 30 menit, dan sebagainya.
(6) Prinsip Peningkatan Terus-Menerus, fleksibel dan keunggulan kinerja.
Dengan prinsip ini standard yang telah ditetapkan akan diaudit setiap tahun dan diadakan peningkatan sehingga menjadi semakin tinggi. Selain itu ditetapkan pula cara-cara pencapaiannya. Contoh pencapain standart tingkat kesalahan 2% ditahun 2007, ditingkatkan menajdi 1% ditahun 2008.
(7) Prinsip Pendekatan Faktual dalam Pembuatan Keputusan berdasarkan informasi akurat.
Setiap pengambilan keputusan terkait dengan pelayanan BPKB dilakukan berdasarkan informasi dari pelangggan dan anggota pelaksana yang tercatat secara detail sehingga bila hasil keputusan tersebut tidak benar dapat langsung diketahui apakah kesalahan pelaksana, manajer atau memang keputusannya yang tidak benar.
(8) Prinsip Hubungan Pemasok yang Saling Menguntungkan
Dengan prinsip ini dibangun prosedur dengan pemasok yaitu Ditlantas Polri terkait dengan material BPKB seperti buku BPKB, Formulir BPKB, Blanko-blanko dan sebagainya.
c. Implikasi ISO 9001-2000 Pada peningkatan Citra
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan (masyarakat). Kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. Dari segi peningkatan kecepatan maka hasil ISO 9001-2000 adalah
NO KATAGORI LAYANAN STANDAR WAKTU
AWAL (JAN - APR ’06) REVISI(MEI ’06 - SKRG)
1 PENERBITAN BPKB BARU 22 Hari Kerja 1 X 24 JAM
2 BLOKIR BPKB 7 Hari Kerja 1 X 24 JAM
3 PROSES PERUBAHAN BPKB 14 Hari Kerja 1 X 24 JAM
4 PROSES MUTASI 21 Hari Kerja 5 X 24 JAM
5 PROSES BPKB DUPLIKAT 21 Hari Kerja 1 X 24 JAM
Kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik. Untuk mendapatkan pendapat dan penilaian masyarakat tersebut, Seksi BPKB Subditmin Regident Ditlantas Polda Metro Jaya secara berkala dapat melakukan survey tentang indeks kepuasan masyarakat, baik secara elektronik maupun manual. Dari survey tersebut terlihat pencapaian tingkat kepuasan pelanggan pada akhir tahun 2008 yaitu 17% Sangat Puas, 80% Puas dan 3% Tidak Puas. Dari data tersebut jelas terlihat secara kualitatif tingkat kepuasan masyarakat. Hal ini juga tercermin pada pemberitaan beberapa media tentang kepuasan masyarakat terhadap pelayanan BPKB dan peraihan Piala Presiden Citra Pelayanan Prima tahun 2007.

3. KESIMPULAN
a. Sistem Manajemen Kualitas dan ISO 9001:2000 adalah seperangkat alat ukur yang digunakan dalam menilai (apresiasi) kegiatan pelayanan publik guna mendapatkan feedback dari pengguna layanan dalam wujud akseptabilitas yaitu kepuasan pengguna jasa (customer satisfaction).
b. Prosedur Pelayanan BPKB pada Ditlantas Polda Metro Jaya yang telah berjalan saat ini telah mengacu kepada ketentuan ISO 9001:2000. Penerapan Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2000 dilakuakn melalui implemetasi prinsip-prinsip QMS pada ke lima jenis pelayanan BPKB.
c. Implikasi dari Aplikasi Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2000 pada Pelayanan BPKB di Ditlantas Polda Metro Jaya adalah kepuasan pengguna jasa pelayanan BPKB dikarenakan oleh kualitas pelayanan yang cepat, tepat, akurat, dan murah. Hal ini pada akhirnya bermuara pada peningkatan citra kepolisian secara umum khususnya pada aspek pelayanan Regident Ranmor.

Kepemimpinan Visioner Atasi Resistensi

AKTUALISASI KEPEMIMPINAN VISIONER
DALAM MENGATASI RESISTENSI ANGGOTA TERHADAP
PERUBAHAN PARADIGMA POLISI SIPIL

By : Sambodo Purnomo Yogo, SIK, MTCP

I. PENDAHULUAN
Paradigma Kepolisian Sipil bagi Polri selalu dikaitkan dengan momentum pemisahan TNI – Polri sebagai hasil dari reformasi. Pemisahan (kemandirian) Polri itu sendiri bagi Polri bukanlah sebagai tujuan tetapi sebagi langkah dimulainya perubahan menuju paradigma baru Polri yaitu paradigma Kepolsian Sipil. Walau sampai saat ini proses transisi masih terus berjalan, bahkan disebutkan bahwa Polisi Indonesia kini walaupun tidak lagi berkarakter militer, tetapi baru sekedar ”a civilian in uniform” atau orang sipil yang diberi baju seragam.
Setiap perubahan yang berhasil selalu dipimpin oleh seorang pemimpin yang dianggap sebagai ”The Change Maker” (Si pembuat perubahan). Rhenald Khasali, dalam bukunya ”Change” menggambarkan bahwa pemimpin-pemimpin perubahan itu mempunyai jiwa dan semangat serta komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan-perubahan pada organisasi atau bangsanya. Contohnya adalah Lee Kwan Yeuw di Singapura, Roby Johan di Garuda, dan Cacuk Sudaryanto di Telkom.
Keberadaan seorang pemimpin yang kuat merupakan faktor penentu dalam berhasil atau tidaknya suatu organisasi dalam melakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis organisasi tersebut. Demikian juga halnya dengan organisasi Polri yang saat ini sedang dalam dalam masa transisi untuk melakukan perubahan menuju kearah paradigma kepolisian sipil, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang visioner dan mampu untuk memimpin organisasi Polri menuju kerah perubahan.
Setiap perubahan pasti ada yang mendukung dan ada yang menolak atau resisten terhadap perubahan tersebut. Kepemimpinan yang visioner menjadi vital bagi organisasi Polri terutama dalam menghadapi resistensi dari para personil yang tidak mau melakukan perubahan. Karena resistensi ini akan menjadi masalah dalam organisasi, bahkan orang – orang yang resisten akan dianggap sebagai ”benalu kemajuan”, akan ditinggal dan bahkan disingkirkan dari organisasi Polri karena dianggap anti perubahan.
Oleh sebab itu, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ”Bagaimanakah aktualisasi kepemimpinan yang visioner dalam menghadapi resistensi personil pada perubahan paradigma polisi sipil?”. Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan maka permasalahan tersebut dipecah menajdi beberapa persoalan, yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan yang visioner?
b. Bagaimanakah konsep paradigma kepolisian sipil?
c. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh seorang pimpinan Polri untuk mengatasai resistensi terhadap perubahan menuju paradigma kepolisian sipil?
II. PEMBAHASAN
1. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan Visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada kerja dan usaha yang dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Dari penegertian ini terlihat bahwa pemimpin yang visioner harus mempunyai visi yang jelas kearah mana organisasi itu akan dibawa. Dari sisi ini pemimpin Polri yang Visioner harus mampu membawa organisasinya kearah Visi Polri yaitu ”Terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat yang terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum”.
Burt Nanus (1992), mengungkapkan ada empat peran yang harus dimainkan oleh pemimpin visioner dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
a. Peran penentu arah (direction setter). Peran ini merupakan peran di mana seorang pemimpin menyajikan suatu visi, meyakinkan gambaran atau target untuk suatu organisasi, guna diraih pada masa depan,
b. Agen perubahan (agent of change). Agen perubahan merupakan peran penting kedua dari seorang pemimpin visioner. Dia harus mampu menjadi pelopor bagi organisasi untuk melakukan perubahan.
c. Juru bicara (spokesperson). Pemimpin, sebagai juru bicara untuk visi, harus mengkomunikasikan suatu pesan yang mengikat semua orang agar melibatkan diri dan menyentuh visi organisasi.
d. Pelatih (coach). Pemimpin, sebagai pelatih, menjaga pekerja untuk memusatkan pada realisasi visi dengan pengarahan, memberi harapan, dan membangun kepercayaan di antara pemain yang penting bagi organisasi dan visinya untuk masa depan.
2. Paradigma Polisi Sipil
Ada banyak pendapat para ahli tentang Polisi Sipil. Salah satunya adalah dari Institute For Defense Strategy and Peace Studies (IDSPS). Lembaga ini menberikan definisi dari Polisi Sipil sebagai berikut:
a. Polisi Sipil adalah Polisi yang menghormati hak – hak sipil, serta mampu mengawal nilai – nilai sipil seperti demokrasi, akuntabel, transparan dan lain - lain.
b. Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusian dan padanya melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, dan persuasif.
c. Polisi Sipil mengabdi pada kepentingan rakyat. Dalam hal ini polisi harus mewujudkan pola kerja yang humanis dan menyayangi masyarakat, dengan mengedepankan komunikasi dengan rakyat.
Terkait dengan paradigma polisi sipil, perubahan dari kultur militer ke kultur sipil tersebut memerlukan adaptasi yang intensif, tidak saja mengganti atribut atribut yang berbau militer dengan atribut-atribut yang lebih berwajah sipil (civilian style blazer) , tetapi juga melalui berbagai upaya organisasi yang meliputi perubahan pada aspek struktural, instrumental maupun kultural. Dalam proses perubahan inilah dimungkinkan adanya resistensi dari anggota.
3. Upaya Mengatasi Resistensi terhadap Perubahan Paradigma Polisi Sipil
Sebagaimana telah disampaikan dimuka bahwa setiap perubahan pasti menimbulkan resistensi dari para anggota organisasi, termasuk dalam hal ini adalah resistensi dari anggota Polri terhadap perubahan paradigma kepolisian sipil. Penulis berpendapat Resistensi itu ditimbulkan oleh beberapa hal, antara lain:
- Perubahan tersebut menimbulkan ketakutan kepada anggota bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap budaya kerja Polri yang lebih transparan dan akuntabel sehingga mengeliminir penyalah gunaan wewenang.
- Anggota berada pada zona kenyamanan (comfort zone) dimana mereka menikmati polisi yang bersifat militeristik, yang mana mereka seolah-olah mempunyai kewenangan tanpa batas dan dapat memperlakukan masyarakat dengan sekehendaknya.
- Paradigma polisi sipil dianggap akan membuat anggota kehilangan semua kemudahan dan fasilitas diluar dinas, yang selama ini diperoleh dalam statusnya sebagai anggota polisi. Akibatnya mereka akan kehilangan sebagian penghasilan mereka diluar gaji, yang selama ini didapat dengan cara-cara yang tidak benar.
Terkait dengan masalah resistensi, Kotter dan Schlesinger (1979) memperkenalkan teori untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan organisasi. Mereka menyatakan bahwa ada 6 hal yang dapat dilakukan seorang pemimpin untuk mengatasi resistensi, yaitu melalui Komunikasi, Patisipasi, Fasilitasi, Negosiasi, Manipulasi dan Paksa.
Dikaitkan dengan pola kepemimpinan yang visioner, maka yang dapat dilakukan untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan paradigma polisi sipil adalah:
a. Komunikasi: Sebagai Spoke Person, Pemimpin harus memberikan informasi tentang paradigma polisi sipil dan memberikan alasan – alasan logis mengapa perubahan paradigma itu harus dilakukan oleh Polri.
b. Partisipasi: Sebagai agent of change, pemimpin harus melibatkan anggota untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan paradigma polisi sipil, seperti contohnya, cara-cara patroli, peningkatan pelayanan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian anggota akan mempunyai komitmen terhadap perubahan tersebut.
c. Fasilitasi: Sebagai Coach, pemimpin harus memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan, dan menganalisa area-area penugasan mana yang mengalami resistensi untuk dicarikan jalan kelauarnya.
d. Negoisasi: Sebagai direction setter,pemimpin menegosiasiakan alasan resistensi anggota baik secara formal maupun informal, sehingga terdapat win-win solution bagi anggota maupun organisasi.
e. Manipulasi: Sebagai direction setter, pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi kepatuhan, antara lain dengan memberikan pengharagaan (reward) bagi anggota yang mau untuk berubah.
f. Paksa: Sebagai direction setter, Pemimpin memberikan paksaan dengan cara melakukan punishment terhadap anggota yang tetap tidak mau berubah, dan tetap melakukan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai sipil, walaupun telah diberi penjelasan tentang perubahan paradigma polisi sipil.

III. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kepemimpinan yang visioner adalah kepemimpinan yang selalu menggunakan visi organisasi sebagai pedoaman arah tujuan organisasi. Dikaitkan dengan perubahan, pemimpin yang visioner mempunyai 4 fungsi yaitu sebagai penentu kebijakan (direction setter), juru bicara (spoke person), pelopor perubahan (agent of change) dan pelatih perubahan (coach)
b. Paradigma Kepolsian sipil adalah kepolsian yang mengedepankan nilai – nilai sipil seperti demokrasi, transparansi dan akuntabel, dalam pelaksanaan tugasnya serta selalu mengabdi pada kepentingan rakyat.
c. Upaya untuk mengatasi resistensi dalam perubahan paradigma dilakuakn melalui 6 cara yaitu Komunikasi, Patisipasi, Fasilitasi, Negosiasi, Manipulasi dan Paksaan.
2. Saran
a. Perlu ada suatu mekanisme reward and punishment yang jelas dalam memotivasi anggota untuk mau berubah .
b. Untuk menentukan apakah seseorang itu adalah pemimpin yang visoner, maka perlu diadakan ”fit and proper test” internal, terutama dalam mengisi jabatan-jabatan kepala kesatauan baik pembinaan maupun operasioanal, termasuk Kasatwil dari segala tingkatan , mulai dari kapolsek hiongga Kapolda.

TMC dan Penggunaan IT dalam Kepolisian

Dengan TI, Polisi Tingkatkan Citra dan Kinerja
Ditulis pada 05 June 08 , Disadur dari majalah Biskom, Edisi Juni 2008

Direktorat Lalu lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, melengkapi peralatannya dengan sejumlah teknologi terbaru. Selain menggunakan 44 Global Position System (GPS), di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang rawan gangguan kemanan, juga telah dipasang kamera pengintai (CCTV) sebanyak 50 unit. CCTV ini bisa digerakkan 360 derajat.
“Semua peralatan itu difungsikan oleh masing-masing 16 orang petugas traffic management center (TMC) dalam satu shift, yang dibagi dalam tiga shift selama 24 jam,” ungkap Koordinator TMC, Komisaris Polisi, Sambodo Purnomo Yogo. Dengan menggunakan fasilitas yang cukup lengkap di TMC, baik informasi mengenai registrasi kendaraan bermotor, pelanggaran, kecelakaan lalu lintas dan lainnya, masyarakat dapat terbantu.
Berikut petikan wawancara dengan mantan Kapolsek Bekasi Timur (2003) yang merupakan lulusan Akademi Kepolisian Semarang (1994) dan pernah menjadi dosen Manajemen Lalu Lintas di STMT Trisakti (2007) ini.
Sejauh mana pemanfaatan teknologi informasi (TI) di kepolisian?
Masyarakat sekarang adalah masyarakat berbasis TI dan membutuhkan pelayanan yang disebut ‘Quick Respond Time’. Jadi, kalau polisi tidak berupaya untuk meningkatkan dirinya dengan TI, secara otomatis akan tertinggal oleh jaman. Sementara tuntutan masyarakat terhadap kinerja polisi semakin tinggi. Saya pikir semua fungsi di kepolisian sudah harus berbasis TI seperti lalu lintas, reserse, intel, narkoba dan sebagainya. Kami di lalu lintas, sudah online dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM), sehingga Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah cetak printer, tidak lagi dengan tulis tangan.
Bisa Anda jelaskan tentang TMC sendiri dan bagaimana anggarannya?
TMC berdiri sejak tahun 2005, waktu itu masih di gedung Lantas Pancoran dan baru pindah ke Polda bulan Maret 2007. Bagi polisi, TCM sendiri merupakan sarana K3i (Komando, Kendali, Koordinasi dan Informasi). Artinya, segala macam kegiatan operasional lalu lintas itu dikendalikan dari pusat komando TMC ini. TMC tetap baik untuk mengurangi persoalan di jalan raya. Di TMC ada 25 komputer, 3 call center dan proyektor teknologi tinggi. Dan, anggarannya cukup besar untuk membangun TMC ini.
Bagaimana cara kerja di TM C sendiri?
Kami memonitor adanya gangguan keamanan di wilayah seputar Jakarta dengan CCTV. Monitor di ruang TMC terus online, dan menunjukkan tayangan dua gambar. Yang satu menunjukkan situasi arus lalu lintas di kawasan A, termasuk adanya jenis gangguan keamanan. Tayangan yang lain memperlihatkan peta penuh titik lokasi yang berasal dari sinyal kendaraan patroli polisi yang dilengkapi GPS atau Sistem Informasi Geografis (GIS/Geographic Information System), serta sejumlah lokasi pos polisi. Karena semua sudah saling terkoordinasi, maka bantuan ke daerah kejadian akan segera ditangani.
Selain kejadian yang biasa terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, hal apa lagi yang biasanya juga rawan untuk segera ditangani?
Kehadiran TMC memang punya manfaat lain, seperti memantau lokasi genangan air dan pohon tumbang, mengingat cuaca sekarang ini sedang tidak menentu. TMC juga bisa mengidentifikasi nomor kendaraan bermotor dan data seluruh kendaraan yang ada di wilayah hukum Polda Metro.
Hal ini dimungkinkan karena TMC sudah terintegrasi dengan seluruh kantor Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap (Samsat) di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan demikian polisi tak perlu lagi menghubungi kantor Samsat. Data pemegang Surat Izin Mengemudi (SIM) pun bisa diakses dari TMC. Jadi kalau pemegang SIM-nya sering melanggar, polisi bisa cepat mencabut SIM.
Apa dasar tebentuknya TMC ini dan apakah kita mencontoh negara luar?
Kehadiran TMC digagas sejak tiga tahun lalu. Kami belajar dari pengalaman Belanda, Singapura dan Jepang. Sistem ini bukan hanya mampu meningkatkan pelayanan masyarakat dan kontrol terhadap para petugas di lapangan, tetapi juga mampu memperbaiki citra polisi, karena dengan adanya TMC, jumlah polisi atau petugas terkait lainnya di jalan bisa dikurangi ke titik terendah. Keadaan ini tentu akan memperbaiki citra polisi dan aparat terkait lainnya. Prinsipnya, kini kian sedikit petugas di jalan, namun justru kian menguat kesan kota aman dan tertib di balik kerja polisi dan aparat lain yang tak tampak.
Adakah akibat negatif dari pengurangan petugas patroli di jalan raya?
Betul, pengurangan polisi di jalan raya masih membutuhkan proses lebih panjang dibandingkan yang dibutuhkan oleh negara-negara maju. Hal ini disebabkan masyarakat kita sebagian besar belum sadar hukum. Oleh karena itu penggunaan jaringan CCTV yang dikendalikan TMC, belum sepenuhnya mengurangi kehadiran polisi di jalan, terutama di hari-hari sibuk. Misalnya saat hari raya dan sebagainya. Saat ini, masyarakat kita taat kalau ada polisi. Meski demikian, kehadiran TMC sudah pada tingkat harus ada di Jakarta, karena tingginya penduduk, tingginya mobilitas warga, dan bertambahnya kendaraan yang tidak seimbang dengan pertambahan jalan.
Animo masyarakat sendiri?
Wah, luar biasa. Setiap hari, kami mendapat keluhan, informasi, atau masukan dari rata-rata 2500 orang. Selama Januari-Desember 2007, tecatat 649.234 laporan diterima lewat SMS (Short Massage Service) 1717. Sebanyak 96.051 laporan, masuk lewat telepon bebas pulsa 112. Sebanyak 8.320 informasi masuk lewat situs www.lantas.metro.polri.go.id, sedang 4.101 informasi, masuk lewat Radio Suara Metro, Polda Metro, sementara 346 laporan masyarakat lainnya masuk lewat faksimili 5709247.

Good Governance Dalam Tugas Harkamtibmas

IMPLEMENTASI “GOOD GOVERNANCE” DALAM

PELAYANAN POLRI DI BIDANG HARKAMTIBMAS

GUNA MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT


I. PENDAHULUAN

Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang lalu memiliki dampak yang sangat besar yaitu terpuruknya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pemerintah dan Bangsa Indonesia menyadari bahwa krisis tersebut antara lain disebabkan oleh tata kelola penyelengaaraan Negara yang buruk (poor governance).[1] Oleh sebab itu dalam era reformasi, tuntutan masyarakat akan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) semakin meningkat.

Fungsi Kepolisian adalah salah satu bagian dari fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan kemanan dan ketertiban. Gavin Drewry (1975) mengatakan bahwa “Police is a visible manifestation of governmental authority. In their hand rest responsibility for day to day application of the criminal law and maintenance of order”[2]. Dengan demikian prinsip – prinsip good governance juga menjadi tuntutan masyarakat terhadap Polri. Polri diharapkan dapat mereformasi dirinya sehingga dapat mengimplentasikan “Good Governance” tersebut.

Perubahan pada masyarakat akan akan berimbas pada pekerjaan pemolisian.[3] Guna menjawab tuntutan masyarakat tersebut, Polri pun kemudian melakukan reformasi di segala bidang baik di bidang structural, instrumental, maupun cultural dan sebagai puncaknya, adalah peresmian program “Quick Wins” oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Mabes Polri pada tanggal 30 Januari 2009. Reformasi tersebut dilakukan di seluruh dimensi tugas kepolisian baik di bidang penegakan hokum, pelayanan masyarakat maupun pemeliharaan Kamtibmas. Tulisan ini akan membahas permasalahan tentang hal tersebut diatas yaitu bagaimanakah implementasi prinsip – prinsip “Good Governance” dalam tugas – tugas Polri memeliharan Kamtibmas sehingga dapat terwujud Polri yang dipercaya masyarakat.

II. PEMBAHASAN

1. Dimensi Tugas Kepolisian dalam Harkamtibmas

Dalam tugas memelihara situasi Kamtibmas, polisi mengenal apa yang dinamakan dengan Faktor Korelatif Kriminogen (FKK) atau Ambang gangguan, Police Hazard (PH) atau Potensi Gangguan, dan Ancaman Faktual (AF) atau Gangguan Nyata. FKK adalah situasi dan kondisi yang dapat menstimulir terjadinya gangguan kamtibmas. PH adalah situasi dan kondisi yang sangat potensial untuk menjadi gangguan Kamtibmas dan oleh sebab itu membutuhkan kehadiran polisi. AF adalah gangguan kamtibmas yang telah terjadi baik berupa tindak pidana maupun bencana alam.

FKK, PH dan AF sering disebut juga sebagai sebuah “Teori Gunung Es” dimana AF adalah puncak gunung es yang muncul di permukaan, sedangkan FKK dan PH terletak dibawah permukaan. Contoh dari ketiga dimensi ini adalah sebagai berikut: PHK oleh suatu pabrik terhadap karyawan adalah sebuah FKK. Karyawan pabrik kemudian melakukan unjuk rasa adalah PH, sedangkan unjuk rasa yang bersifat anarkis adalah AF.

Untuk mengantisipasi ketiga hal tersebut, Polisi juga mempunyai 3 type tugas dan wewenang yaitu tugas Pre-emtif, Preventif dan Represif. FKK diantispiasi dengan melakukan kegaiatan pre–emtif yaitu tugas Polri untuk melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat agar masalah – maslah social yang terjadi di masyarakat tidak berkembang menjadi gangguan Kamtibmas. Situasi PH diantisipasi dengan kegiatan Preventif yaitu kegiatan untuk mencegah timbulnya gangguan kamtibmas melalui upaya – upaya pembinaan masyarakat, penjagaan, pengawalan, pengaturan dan patroli. Sedangkan AF dihadapi dengan tugas represif yaitu tugas penegakan hukum dengan melakukan upaya – upaya penyidikan dan upaya paksa.

2. Prinsip – Prinsip Good Governance

Munculnya konsep “Good Governance” berawal dari adanya kepentingan lembaga – lembaga donor seperti PBB, Bank Dunia atau IMF dalam meberikan bantuan pinjaman modal kepada Negara – Negara berkembang. Prinsip – prinsip Good Governance ditetapkan sebagai syarat untu mendapatkan modal tersebut.[4] Konsep ini kemudian mengemuka menjadi acuan bagi seluruh organisasi pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya. Terdapat banyak definisi tentang apa yang dimaksud dengan “Good Governance”, antara lain Bank Dunia mengartikan “Good Governance” sebagai pelayanan public yang efisien dan pemerintah yang bertanggung jawab pada publiknya. Namun demikian “Good Governance” pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) prinsip utama yaitu Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi.

Transparansi (transparency) berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait. Transparansi dibangun atas kebebasan arus informasi yang reliable, dan dapat diakses oleh publik, dengan demikian public dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Akuntabilitas (accountability) adalah kapasitas setiap instansi pemerintah untuk mempertanggung jawabkan pencapaian tujuan dan pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan Partisipasi (Participation) adalah merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan dan pelaksanaan tugas pemerintah, dimana masyarakat tidak lagi hanya bersifat sebgai obyek belaka, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai peran penting.[5]

Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik tersebut adalah mutualistik dan salin mendukung. Tanpa adanya partisipasi public untuk mengamanakan proses penyelegaraan Negara sulit diharapakan adanay akuntabilitas dan transparansi. Demikian juga sebaliknya partisipasi masyrakat tidak akan berjalkan efektif tanpa danya transparansi dan kebebasan informasi.

3. Prinsip – Prinsip “Good Governance” dalam tugas Harkamtibmas

a. Transparansi

Dalam setiap tindakan kepolisian yang dilakukan oleh Polri baik dalam tugas pre-emtif, preventif, maupun represif, Polri sudah mulai harus terbiasa untu berbagi informasi yang benar dan up to date kepada masyarakat. Seperti halnya dalam tugas preventif penjagaan dan pengaturan lalu lintas, polentas sudah tidak boleh lagi melakukan jebakan – jebakan kepada pelanggar lalu lintas. Selain itu, bila melakukan operasi kepolisian atau razia, anggota Polri haru menyadari bahwa adalah hak warga masyarakat untuk menanyakan identitas maupun surat perintah petugas, sehingga petugas tidak boleh marah bila ada masyarakat yang menayakan hal tersebut.

Pentingnya transparansi akan semakin terlihat nyata pada tugas – tugas represif. Masyarakat yang berperkara, baik sebagai pelapor, saksi ataupun tersangka harus dapat memantau perkembangan hasil penyidikan Polisi. Hal inilah yang dikembangkan oleh jajaran reserse dalam program transparansi penyidikan memalui Surat pemberitahuan Perkembanagan Hasil penyidikan (SP2 HP).Di Jajaran Polda Metro Jaya, SP2HP saat ini sudah dapat diakses melalui website www.reskrimum.metro.polri.go.id , bahkan di jajaran Bareskrim Mabes Polri SP2HP sudah dapat diakses melalui SMS. Hal ini juga merupakan salah satu progam dalam yang kebijakan “Quick Wins” yang baru diresmikan oleh Presiden. Dengan adanay transparansi maka Polri akan dipercaya oleh masyarakat sebab masyarakat dapat mengetahui secara jelas tentang berbagai informasi yang dibutuhkan terkait dengan tugas – tugas kepolisian.

b. Akuntabilitas

Akuntabilitas terkait dengan penggunaan sumber daya baik materil, anggaran, personil dan sebagainya yang digunakan oleh Polri Dalam pemeliharaan Kamtibmas, Polri harus mampu mempertanggung jawabkan anggaran yang digunakan dalam tugas – tugas premetif, preventif maupun represif. Saat ini dukungan anggaran melaui mata anggaran Harkamtibmas sudah cukup memadai, namun hal ini harus dapat dipertanggung jawabkan secara jelas kepada masyarakat.

Akuntabilitas juga terkait dengan pertanggungang jawab terhadap pencapaian sasaran – sasaran organisasi. Dalam penyidikan kasus pidana, penyidikan yang bersifat ilmiah (scientific Criminal Investigation) haruslah menjadi pedoman bagi penyidik untuk pengungkapan kasus. Dalam pengamanan kegiatan masyarakat seperti unjuk rasa, harus jelas siapa berbuat apa dan bertanggung jawab kepada siapa. Dengan akuntabilitas maka kepercayaan masyarakat akan meningkat. Citra Polri akan semakin baik sehingga citra Polri sebagai lembaga publik yang terkorup, sebagaimana hasil penelitian Mayarakat Transparansi Indonesia akan berubah.

c. Partisipasi

Polri harus memahami bahwa seberapa besar dan hebatnya kekuatan yang ada, Polri tidak akan dapat memelihara Kamtibmas seorang diri, Polri harus bermitra dengan masyarakat. Untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, polisi harus mengembangan hubungan yang positif, dimana masyarakat ikut berpartispasi dan terlibat dalam usaha – usaha pemeliharaan Kamtibmas.[6] Hal inilah yang menjadi dasar dari paradigma Community Policing yang saat ini sedang dikembangkan oleh Polri. Melalui Community Policing maka tugas pemeliharaan Kamtibmas akan lebih ringan karena Polisi akan dibantu oleh masyarakat.

III. KESIMPULAN

Tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan agenda reformasi yang harus dilaksanakan oleh Polri. Untuk itu Polri harus mengimplementasikan prinsip – prinsip Good Governance yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam setiap tugas pemeliharaan Kamtibmas baik tugas pre-emtif, preventif maupun represif. Dengan implementasi prinsip – prinsip tersebut maka diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan dapat meningkat.



[1] Pohan, Max, “Mewujudakan Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik (Lokal Good Governance) Dalam Era Otonomi Daerah “, Makalah pada Musyawarah Besar Pembanguna , 29 September 2001.

[2] Gavin Drewry “Law, Justice and Poltics” Logman London, 1975

[3] Prof. Dr. Satipto Raharjo, “Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia”, Kompas, 2002.

[4] DR. Sadjijono, “Polri dan Good Governance”, Laksbang Media Tama, 2008.

[5] Pohan, Max, “Mewujudakan Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik (Lokal Good Governance) Dalam Era Otonomi Daerah “, Makalah pada Musyawarah Besar Pembanguna , 29 September 2001.

[6] Rony Lihawa, “Memahami Community Policing”, YPKIK, 2005.